OPERATOR TERBANYAK atau JUMLAH OPERATOR IDEAL ? berapa sih sebenarnya yang ideal ?
Sudahkah
anda melihat iklan dari PT.Telkom yang isinya memberikan diskon untuk
salah satu produknya telepon rumah atau PSTN (Public Switch Telephone
Network) ? Iklan tersebut isinya bahwa penggunaan telepon rumah dari
pukul 00:00 tengah malam sampai dengan pukul 06:00 waktu setempat
diberikan diskon sampai dengan 90%. Asalkan penggunaannya selama 30
menit maka diharuskan membayar cukup 6 menit saja. Dari jaman bahela
sejak PT. Telkom berdiri sampai dengan jamannya selullar, maka baru kali
ini telepon rumah mengalami penurunan tarif bahkan sampai diskon.
Bandingkan dengan dulu dimana kalau harga BBM naik maka tarif telepon
rumah pun semakin naik. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan kondisi
jaman dahulu.
Kenapa hal ini terjadi bagi PT.Telkom selaku pelaku
pasar mayoritas telekomunikasi ? Tentu saja akibat dari dibukanya
persaingan bebas untuk pasar telekomunikasi dan banyaknya operator
telekomunikasi di Indonesia yang membuat persaingan antar operator
telekomunikasi semakin tinggi.Selain karena
persaingan bebas di pasar telekomunikas, penetrasi pelanggan
telekomunikasi di Indonesia juga masih rendah. Dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta penduduk, maka angka
135 juta pelanggan sebagai target jumlah pelanggan telekomunikasi pada
tahun 2008 masih baru mencapai sedikitnya lebih dari 50 % jumlah
penduduk Indonesia. Sehingga angka tersebut masih sangat rendah
dibandingkan negara-negara maju ataupun negara berkembang yang sudah
lama mengenal operator selullar.
Tumbuhnya kompetisi telekomunikasi di Indonesia
Pertumbuhan
telekomunikasi di Indonesia juga sebenarnya tidak terlalu mulus,
dimulai dari PN TELKOM sebagai perusahaan pertama telekomunikasi.
kemudian tahun 1987 dirintis pembaharuan UU Telekomunikasi yang
diundangkan dengan resmi sebagai UU No.3 Tahun 1989, setelah selama 25
tahun UU Telekomunikasi No.5 Tahun 1964 yang memberikan pegangan bagi
perkembangan telekomunikasi Indonesia yaitu suatu UU yang memberikan
monopoli mutlak kepada pemerintah untuk menyelenggarakan telekomunikasi.
Menuju persaingan bebas dan kompetisi maka dikeluarkanlah UU No.36
Tahun 1999 yang membedakan penyelenggara jaringan dan penyelenggara
jasa. Penyelengara jaringan dapat menjadi penyelenggara jasa. Namun
dalam PP diatur sehingga persaingan adil dan tidak terjadi silang
subsidi. UU ini juga mengatur kewajiban dan kewenangan operator baru dan
operator lama dalam interkoneksi jaringannya, sehingga pelanggan
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal inilah yang membuat
persaingan antara operator semakin terbuka. Tapi meskipun begitu masih
saja banyak yang berpendapat bahwa PT.Telkom masih dianggap tetap
melakukan praktek monopoli.
Dengan dikeluarkannya UU tersebut maka
semakin menarik minat investor untuk berinvestasi mengembangkan
bisnisnya ke pasar telekomunikasi. Sehingga semakin banyaknya operator
telkomunikasi di Indonesia, maka sangatlah wajar terjadinya perang tarif
yang sekarang menjadi sangat sengit. Apalagi semenjak diturunkannya
tarif Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) oleh pemerintah per 1 April
2008. TELKOM merupakan pelaku pasar telekomunikasi yang memiliki
jaringan paling luas atau menyelenggara telepon rumah atau PSTN.
Sehingga apabila biaya sambungan interkoneksi ke PT.TELKOM bisa turun,
maka tarif interkoneksi antar operator lainnyapun mengalami penurunan.
Investor berminat di bidang telekomunikasi
Dengan
kondisi tersebut maka banyak investor yang sangat berminat untuk
memberikan investasinya di bidang telekomunikasi. Itu terbukti dengan
munculnya sebanyak 10 operator telekomunikasi. Mulai dari operator lama
seperti PT.Telkom yang mana saham mayoritasnya dikuasai oleh pemerintah
sebesar 51,2 % dan anak perusahaannya PT.Telkomsel yang 35% sahamnya
pegang perusahaan asing asal Singapura yaitu SingTel. Kemudian
PT.Indosat yang sahamnya baru-baru ini dibeli oleh Qatar Telekom. Dan
Excelcomindo yang sahamnya dikuasai oleh Telekom Malaysia. Ada juga
Mobile8 dimiliki oleh Hary Tanosoedibjo sekaligus pemilik Global
Mediacom Group yang juga merupakan perusahaan media terbesar di
Indonesia. Bakrie Telecom yang merupakan perwujudan dari Ratelindo yang
dulu eksis di teknologi WLL. Belum lagi NTS yang merupakan gabungan
antara PT.Natrindo yang dikuasai oleh Maxis Communication sebuah
perusahaan asal Malaysia , HCPT yang sebelumnya bernama dari PT.Cyber
Access dan yang terakhir adalah Smart Telecom dan Sampoerna Telecom yang
dulunya sebagai perusahaan yang bergerak di industri rokok yang
sahamnya dikuasai oleh Sampoerna Group.
Terbukti bahwa investasi
telekomunikasi di Indonesia dikuasai oleh pihak asing yang notabennya
adalah perusahaan telekomunikasi di negaranya masing-masing. Itu berarti
ada titik jenuh untuk pasar telekomunikasi di pasar negaranya sehingga
mereka mencari pasar lain diluar negaranya sendiri.
Negara Penetrasi
Telepon Tetap Selullar
Singapura 43% 98%
Malaysia 21% 81%
Thailand 11% 55%
China 27% 33%
Jepang 48% 70%
Korea Sel 46% 81%
Indonesia 7% 30%
India 2% 28%
Philipina 4% 44%
Pakista 20%
Vietnam 19%
Berdasarkan data tahun 2006 menunjukkan bahwa penetrasi
pelanggan di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dari negara
tetangga. Tapi setidaknya negara kita masih lebih tinggi penetrasi
selullarnya ketimbang India. Negara yang memiliki banyak SDM berkualitas
teknologi informasinya itu hanya memiliki penetrasi selullar sebesar
28%.
Negara maju seperti Amerika Serikat saja penetrasi selullarnya
sudah mencapai 84%, bahkan negara yang dijuluki dengan negri Paman Sam
itu diprediksikan penetrasinya akan mencapai 100% di tahun 2013. Begitu
pula dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang
penetrasi selullarnya sudah mencapai 98% dan 81%. Keduanya merupakan
yang tertinggi di Negara Asia Tenggara. Maka sudah sewajarnya apabila
perusahaan telekomunikasi dari kedua negara tetangga itu sudah merambah
masuk ke negara lain termasuk negara kita yang memang penetrasinya masih
rendah.
Dari data yang ditunjukkan bisa terungkap daya tarik
asing untuk mengembangkan usaha pasar telekomunikasi selullar di
Indonesia. Karena di negara ini untuk penetrasi fixed wired atau telepon
tetap hanya 4 % dimiliki oleh PT.Telkom dengan jumlah pelanggan mencapi
8.7 Juta pelanggan berbayar. Artinya masih terdapat market 96% lagi
yang belum dimanfaatkan untuk pelanggan telepon. Tapi tampaknya pihak
asing kurang berminat dalam investasi telepon tetap, disamping harganya
yang cukup mahal sehingga mempengaruhi nilai investasinya. Sehingga
Dibandingkan
dengan pasar selullar yang masih dikuasai oleh PT.Telkomsel sebesar 56%
pasar dan penetrasinya masih 28%. Artinya operator lainnya atau pihak
asing melalui Indosat, Excecomindo, HCPT dan NTS masih sangat tertarik
karena masih terdapat 72 % market lagi.
Penetrasi selullar yang cepat
Bila
dibandingkan dengan pertumbuhan pelanggan telepon tetap kabel atau
PSTN, maka pertumbuhan pelanggan telepon bergerak nirkabel mengalami
perbedaan yang sangat signifikan. Bisa jadi pelanggan PSTN saat ini
menjadi stuk atau jenuh diakibatkan biaya dari pemasangan sambungan
telepon yang sangat mahal. Bandingkan dengan pemasangan telepon nirkabel
yang sudah semakin mudah dan murah. Belum lagi bila dibandingkan dengan
kebebasan bergerak para pelanggannya.
Sebenarnya setelah adanya
kompetisi dan persaingan bebas di pasar telekomunikasi dan diizinkannya
PT.Indosat untuk melakukan pengadaan jaringan telepon tetap, banyak juga
para operator telekomunikasi yang ingin berinvestasi ditelepon tetap
tersebut. Tapi bagi PT.Indosat saja masih mikir panjang untuk terlibat
dalam pengadaan PSTN karena memang biaya investasi per-unitnya saja
sangat mahal. Artinya, para pelanggan telepon permanen yang baru akan
tetap memilih jaringan PSTN milik PT.Telkom selain harganya yang sama
tapi interkoneksinya dengan pelanggan lain yang sudah banyak menjadi
lebih mudah.
Pertumbuhan penetrasi pelanggan telepon
selullar atau nirkabel lebih cepat daripada pertumbuhan penetrsai
pelanggan telepon tetap. Sehingga para investor lebih memilih untuk
menginvestasikan investasinya di telekomunikasi selullar. Terutama para
investor asing yang sudah berpengalaman di bidang telekomunikasi, karena
investasi mereka di negaranya sudah mengalami kejenuhan.
Jumlah pelanggan telekomunikasi di negara lain
Meskipun
penetrasi pelanggan di Indonesia masih rendah, tapi apabila dihitung
jumlah keseluruhannya menjadi sangat tinggi. Dari total pelanggan
selullar sampai bulan Juni 2008 terhitung mencapai 135 juta pelanggan.
Cina masih unggul dengan jumlah pelanggan 585 juta pelanggan, sedangkan
India masih menempati peringkat dua dengan 291 juta pelanggan. Indonesia
sendiri menduduki peringkat ke enam jumlah pelanggan.
Berikut jumlah pelanggan di beberapa negara lain :
No Negara Jumlah Pelanggan
1 Cina 585 juta
2 India 291 juta
3 Amerika 259 juta
4 Rusia 172 juta
5 Brazil 144 juta
6 Indonesia 135 juta
7 Jepang 103 juta
8 Jerman 103 juta
9 Italia 90 juta
10 Pakistan 86 juta
Operator telekomunikasi
Dilihat
dari jumlah pelanggan telekomunikasi selullar, negara Indonesia masih
menduduki peringkat ke enam. Tapi apabila dihitung jumlah operator
telekomunikasi nya maka Indonesia bisa dikatakan negara yang memiliki
operator telekomunikasi terbanyak di dunia. PT.Telkom yang merupakan
pemain lama bahkan memiliki anak perusahaan PT.Telkomsel dengan
produknya simPATI, As dan kartoHALLO saja masih bisa mengeluarkan produk
selullar meskipun pergerakannya masih terbatas untuk satu kota saja
atau Fixed Wireless Access (FWA) yaitu Flexi. Sedangkan saingan lamanya
yaitu PT.Indosat malah mempunyai produk selullar dan produk FWA yaitu
Matrix, Mentari, IM3 dan Starone. Excelcomindo juga mempunyai produk
dengan nama Explore, Bebas dan Jempol. Sedangkan Bakrie Telecom masih
saja setia dengan produk FWAnya Esia. Mobile8 yang baru saja
mengelurakan produk FWA nya yaitu Hepi dan juga produk lamanya Fren.
Para pemain baru seperti HCPT yang mengeluarkan produk 3 “baca tri”dan
NTS dengan Axisnya merupakan produk GSM. Sinarmas Telecom dengan
SMARTnya dan Sampoerna Telecom dengan Ceria merupakan pemain baru dengan
mengandalkan teknologi CDMA tapi di kanal frekuensi yang berbeda dengan
para pemain CDMA lainnya. Sehingga sangat sulit untuk mengganti handset
apabila satu pelanggan ingin pindah menggunakan layanan operator
lainnya.
Jadi terdapat total sepuluh operator telekomunikasi yang
ada di Indonesia. Dengan pembagian lisensi selullar sebanyak 8 operator
dan 4 operator yang memiliki lisensi FWA atau telepon tetap tanpa kabel.
Berarti ada dua operator yang memiliki lisensi mobile selullar dan FWA
yaitu PT.Indosat dan PT.Mobile8.
Lisensi mobile selullar yang
memiliki pergerakan tanpa batas sehingga semua pelanggannya bisa
menggunakan hanset atau handponenya bisa aktif di semua wilayah di
Indonesia, sehingga lisensi ini sangat cocok untuk pelanggan yang
pergerakkannya jelajahnya dari satu kota ke kota lainnya. Sedangkan FWA
merupakan lisensi dengan pergerakan yang terbatas, sehingga handset
hanya bisa bergerak bebas disatu kode wilayah tertentu. Apabila
pelanggan masuk ke daerah yang berbeda kode areanya maka handset atau
nomor tersebut tidak dapat aktif. Itu berarti tinggal bagaimana
pelanggan memilihnya.
Bila dipisah ada total 12 Operator yang
memiliki lisensi untuk penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia.
Dimana masing-masing operator tersebut memiliki produk-produk yang
berbeda dalam artiannya mempunyai segmen yang berbeda-beda. Bila
dijumlahkan berarti ada sekitar 17-an produk dari operator
telekomunikasi tersebut.Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya para calon
pelanggan telekomunikasi untuk memilih produk yang tepat. Masing-masing
operator biasanya memiliki lebih dari satu produk untuk masing-masing
segmen. Karena mereka menganggap bahwa masyarakat Indonesia masih
terbagi-bagi dalam berbagai segmen tingkatan yaitu ekonomi, pendidikan,
usia dan kebutuhan.
Jumlah operator telekomunikasi di negara lain
Lalu
bagaimana kondisinya di negara lain. Untuk beberapa negara yang
berpenduduk paling banyak didunia yaitu Cina saja cuma memiliki tiga
operator telekomunikasi. Selanjutnya India yang memiliki jumlah penduduk
sebanyak 1,3 Miliar penduduk hanya memiliki lima operator
telekomunikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 225 juta
memiliki sepuluh operator telekomunikasi. Padahal penetrasi pelanggan
selullar di Indonesia masih rendah, yang berarti membuat para investor
untuk menginvestasikan uangnya di bidang ini. Dan mungkin saja jumlah
operator selullar telekomunikasi di Indonesia semakin bertambah.
No Negara Operator Jumlah Penduduk
1 Cina 3 1.3 miliar
2 India 5 1.080 miliar
3 Pakistan 5 154 juta
4 Philipina 4 86 juta
5 Korea Selatan 4 48 juta
6 Malaysia 3 25 juta
7 Singapura 3 4 juta
8 Hongkong 6 7 juta
9 Taiwan 3 23 juta
Dari
tabel diatas menunjukkan bahwa Malaysia dan Singapura saja hanya
memiliki 3 operator selullar. Malahan operator di negara tersebut sudah
memiliki saham bahkan menjadi saham mayoritas di beberapa perusahaan
operator selullar telekomunikasi di Indonesia. Mungkin mereka merasa
penetrasi di negaranya yang sudah sangat tingggi dan hampir mencapai
titik jenuh. Oleh sebab itu mereka mencoba merambah bisnis
telekomunikasinya ke negara tetangga yaitu Indonesia.
Meskipun
memilki operator telekomunikasi terbanyak, operator di Indonesia masih
dianggap sangat kecil apabila dibandingkan dan disandingkan dengan
jumlah penduduk di negara Indonesia. Coba dilihat untuk negara Hongkong
yang berpenduduk tujuh juta saja memiliki enam operator telekomunikasi
di negaranya. Kemudian dengan negara maju seperti Singapura yang hanya
berpenduduk sebanyak 4 juta saja memiliki 3 operator telekomunikasi.
Begitupula dengan negara tetangga Malaysia yang berpenduduk 25 juta dan
memiliki 3 operator telekomunikasi. Dengan berpenduduk sebanyak 225 juta
orang maka bisa dibilang sudah ideal untuk ditangani sebanyak sepuluh
operator telkomunikasi. Tapi apakah mampu para operator tersebut
bertahan ditengah kondisi perang tarif sekarang ?
Menjaga tarif bawah dan tarif atas
Dengan
begitu banyaknya produk yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi
di Indonesia, maka persaingan baik antara operator maupun antara produk
sudah semakin sengit. Bisa kita lihat bagaimana iklan-iklan yang ada di
media sudah seperti terlihat perang tarif. Meskipun yang terjadi
sebenarnya bukan perang tarif tapi hanya merupakan perang promosi. Baru
hari ini satu produk mengeluarkan promosinya, maka janganlah heran
produk yang sebanding langsung mengeluarkan promosinya yang lebih murah.
Bahkan sampai ada tarif yang mencapai nilai rupiah dengan angka koma,
mungkin jika menggunakan pecahan satu sen maka nilai rupiah tersebut
masih dibawah satu sen rupiah.
Ada baiknya pemerintah sebagai
penyelenggara regulasi telekomunikasi membuat batas tarif atas dan tarif
bawah untuk mencegah terjadinya perbedaan tarif yang semakin jauh. Pada
saat ini mungkin tarif yang diberlakukan hanya tarif promosi, sehingga
para operator masih bisa mengutak – atik tarif untuk masa promosi
tertentu. Tapi apa jadinya apabila tarif murah yang diberlakukan
sekarang ini menjadi tarif dasar para operator. Mungkin operator besar
yang sudah memiliki banyak pelanggan tidak terlalu masalah dengan
penurunan tarif dasarnya. Tapi bagaimana dengan kekuatan para operator
kecil yang pelanggannya masih dibawah sepuluh juta pelanggan? tentu saja
ini akan semakin membuat perusahaan operator telekomunikasi mengikat
pinggang yang kencang.
Akibat persaingan tarif yang seperti tadi maka
akan membawa korban bagi operator karena pengaruhnya sangat besar bagi
pendapatan perusahaan telekomunikasi. Masryarakat saat ini semakin
menyeleksi dalam memilih operator telekomunikasi. Mereka langsung
berpaling apabila produk yang mereka gunakan ternyata memberikan tarif
yang mahal. Bisa jadi sebagai akibat karena persaingan ini, maka
pendapatan perusahaan selullar semakin menurun. Beberapa diantara nya
mungkin akan mengalami kesulitan. Bukan tidak mungkin adanya merger
antara perusahaan operator yang satu dengan lainnya. Operator besar bisa
mengakusisi atau antar operator kecil bisa melakukan merger. Seperti
yang dilakukan perusahan-perusahaan perbankan pada tahun 1998 atau
perusahaan-perusahanan media televisi yang baru-baru ini melakukan
merger untuk meningkatkan pendapatan dan mengurasi pengeluaran.
Bersaing lebih ke arah kualitas dan konten.
Apabila
persaingan di tarif sudah mulai jenuh, dalam artian sudah banyak
pelanggan yang mulai setia dengan produk yang dikeluarkan operator
telekomunikasi. Maka promosi tarif semurah apapun ataupun penurunan
tarif dasar semurah apapun tidak akan mempengaruhi pelanggan lama yang
ingin berpindah ke operator lain.
Dengan begitu kondisi antara tarif
yang hampir sama maka sangat memungkinkan bagi para pelanggan untuk
lebih memilih operator telekomunikasi yang bagus dan handal di kualitas.
Sehingga pelanggan tidak ragu lagi menggunakan produk yang dikeluarkan
operator tersebut, meskipun harga atau tarif yang ditawarkan lebih mahal
dari operator lain. Mungkin kah itu terjadi ? bisa saja. Mengingat baru
–baru ini ketika biaya interkoneksi ke PT.Telkom menurun dan
mempengaruhi tarif dasar telekomunikasi selullar lainnya maka terjadi
peningkatan trafik yang berakibat pada penurunan kualitas jaringan itu
sendiri seperti call drop, sulit menelpon dan lain-lain.
Berbagai
tarif promo yang dikeluarkan mungkin efektif dalam menjaring pelanggan
baru. Sepintas memang program tersebut menguntungkan pelanggan. Tapi
jangan lupa bahwa dengan banyaknya pelanggan dan tidak diikuti oleh
penambahan jaringan maka mengakibatkan kualitas jaringan menjadi lebih
buruk. Bukan tidak mungkin semakin lama banyak para pelanggan yang
mengeluhkan masalah kualitas jaringan yang semakin memburuk, seperti
survey yang dilakukan di negara Amerika Serikat bahwa pelanggan
telekomunikasi di sana lebih mengutamakan kualitas suara.
Selain
kualitas jaringan, ada faktor lain yang mempengaruhi jumlah pelanggan.
Konten yang diberikan bisa menjadikan ujung tombak untuk menarik
pelanggan. Layaknya media, dimana konten bisa mempengaruhi minat dan
pola pikir dari pelanggannya. Tentu konten-konten tersebut bisa dibuat
berdasarkan segmen-segmen pelanggan tertentu.
Tanda tumbangnya Operator Selullar
Lalu
bagaimana dengan nasib para operator telekomunikasi yang memiliki
pelanggan dibawah sepuluh juta apabila persaingan tarif dasar
benar-benar terjadi? Ada kemungkinan beberapa operator telekomunikasi
seluller akan goyang akibat persaingan tarif. Setidaknya sudah ada
sinyal dari pemilik operator yang sedikit ragu dalam menjalankan
bisnisnya dibidang telekomunikasi.
Seperti bulan lalu banyak media
yang mengangkat isu tentang ide dari para petinggi PT. Global Mediacom,
Hary Tanosodibjo untuk menjual bisnis diluar bisnis media yang sekarang
digelutinya yaitu PT.Mobile-8. Bahkan Hary mengatakan akan menjual 15,58
persen saham Mobile-8 ke pihak lain sehingga kepemilikkan Global di
Mobile-8 tinggal 51 persen. Meskipun tidak tegas disebutkan siapa yang
membelinya, namun isu yang berkembang adalah menjual sahamnya ke
PT.Bakrie Telecom.
Bakrie Telecom dan Mobile-8 memiliki teknologi
jaringan yang sama. Tapi dari sisi lisensi yang dimiliki Mobile-8 lebih
unggul karena memiliki lisensi mobile selullar dan FWA, berbeda dari
Bakrie Telecom yang hanya memiliki lisensi FWA. Hanya saja jumlah
pelanggan yang dimiliki oleh Bakrie Telecom lebih banyak dan kondisi
perusahaan lebih sehat daripada Mobile-8. Bisa saja pengambilalihan
secara bertahap Mobile-8 oleh Bakrie Telecom atau mungkin merger
keduanya akan memperkuat posisi Bakrie Telecom di industri
telekomunikasi dari posisi lima menjadi keempat.
Tiga operator mobile selullar dan dua operator FWA
Seperti
yang sudah dipaparkan sebelumnya, saat ini untuk telekomunikasi
selullar masih dikuasai oleh tiga operator GSM yang besar yaitu
PT.Telkomsel dengna 58 juta pelanggan, PT. Indosat dengan 32 juta
pelanggan dan PT.Excelcomindo Pratama dengan 24 juta pelanggan. Dimana
ketiga operator tersebut menguasai 84 persen pangsa pasar telekomunikasi
nirkabel dengan 135 juta pelanggan yang berhasil digaet.
Lalu untuk
16 persen sisanya masih diperebutkan oleh 7 operator. yaitu PT.Telkom
dengan Flexinya, Bakrie Telekom (Esia), Mobile-8 (Fren dan Hepi), HCPT
(3), Sampoerna (Ceria), Natrindo (Axis), dan Sinarmas (Smart) .
No Operator Jumlah Pelanggan Teknologi Lisensi
1 PT.Telkomsel 58 juta GSM Mobile Selullar
2 PT.Indosat 32 juta GSM/CDMA Mobile & FWA
3 PT.Excelcomindo 24 juta GSM Mobile Selullar
4 PT.Telkom 9 juta CDMA FWA
5 PT.Bakrie Telecom 6 juta CDMA FWA
6 PT.Mobile-8 4 juta CDMA Mobile & FWA
7 PT.HCPT 2.3 juta GSM Mobile Selullar
8 PT.Sinarmas Telecom 1 juta CDMA Mobile Selullar
9 PT.Sampoerna Telecom 400 ribu CDMA Mobile Selullar
10 PT.NTS 600 ribu GSM Mobile Selullar
Table 4. Jumlah pelanggan operator selullar
Berdasarkan
peringkat dengan jumlah pelanggan terbanyak, maka bisa dipastikan bahwa
untuk lisensi mobile selullar masih dikuasai oleh PT.Telkomsel ,
PT.Indosat dan PT.Excelcomindo. Sedangkan untuk lisensi FWA masih di
kuasai oleh PT.Telkom dan PT.Bakrie Telecom. Untuk lisensi mobile
selullar yang dikuasai oleh tiga operator mungkin sudah tidak dapat
diganggu gugat oleh opearator lain. Dalam artian untuk operator lain
yang memiliki lisensi mobile selullar masih sangat jauh jumlah
pelanggannya dibandingkan tiga operator penguasa tersebut.
Sedangkan
untuk FWA yang dikuasai oleh teknologi Code Division Multiple Access
(CDMA) saat ini lisensinya dimiliki oleh empat operator. Keunggulan dari
CDMA adalah lebih punya masa depan dari sisi capital expenditure
(capex) dan operation expenditure (opex) yang jauh lebih murah
dibandingkan dengan operator GSM. Itulah alasan yang kuat bagi PT.Telkom
untuk lebih berinvestasi di FWA dari pada meningkatkan investasinya di
telepon tetap melalui kabel. Selain memiliki jaringan yang paling luas
dan dengan citra atau image sebagai perusahaan BUMN yang sudah sangat
besar, maka sangatlah wajar apabila Flexi sebagai produk dari PT.Telkom
mampu menggaet pelanggan terbanyak di lisensi FWA.
Sedangkan Bakrie
Telecom yang memiliki keunggulan dari penggunaan teknologi CDMA dan
memiliki performansi keuangan yang sangat baik ditambah marketing yang
kuat membuat para investor malah ingin mengakusisinya, setidaknya ada
dua perusahaan yaitu PT.Altimo dari Rusia yang ingin berinvestasi di
Indonesia, kemudian ada PT.Telkom sendiri yang ingin menyingkirkan
saingannya agar produk Flexinya tetap eksis.
Sehingga bisa jadi,
apabila tarif dasar mengalami penurunan selamanya. Bukan tidak mungkin
beberapa operator kecil harus mengakusisi ke operator besar ataupun
operator kecil saling merger. Dan jumlah operator yang ada sekarang
semakin berkurang menjadi sekitar lima atau enam saja. Dengan komposisi
tiga perusahaan berlisensi mobile selullar dan dua perusahaan berlisensi
FWA. Saya kita dengan komposisi tersebut sudah cukup bagi masyarakat
untuk memilih operator mana yang sesuai dengan keinginnannya.
http://provbig.blogspot.com/2008/10/indonesia-negara-dengan-operator.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar