Rabu, 22 April 2015

OPERATOR TERBANYAK atau JUMLAH OPERATOR IDEAL ? berapa sih sebenarnya yang ideal ?
Sudahkah anda melihat iklan dari PT.Telkom yang isinya memberikan diskon untuk salah satu produknya telepon rumah atau PSTN (Public Switch Telephone Network) ? Iklan tersebut isinya bahwa penggunaan telepon rumah dari pukul 00:00 tengah malam sampai dengan pukul 06:00 waktu setempat diberikan diskon sampai dengan 90%. Asalkan penggunaannya selama 30 menit maka diharuskan membayar cukup 6 menit saja. Dari jaman bahela sejak PT. Telkom berdiri sampai dengan jamannya selullar, maka baru kali ini telepon rumah mengalami penurunan tarif bahkan sampai diskon. Bandingkan dengan dulu dimana kalau harga BBM naik maka tarif telepon rumah pun semakin naik. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jaman dahulu.
Kenapa hal ini terjadi bagi PT.Telkom selaku pelaku pasar mayoritas telekomunikasi ? Tentu saja akibat dari dibukanya persaingan bebas untuk pasar telekomunikasi dan banyaknya operator telekomunikasi di Indonesia yang membuat persaingan antar operator telekomunikasi semakin tinggi.Selain karena persaingan bebas di pasar telekomunikas, penetrasi pelanggan telekomunikasi di Indonesia juga masih rendah. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta penduduk, maka angka 135 juta pelanggan sebagai target jumlah pelanggan telekomunikasi pada tahun 2008 masih baru mencapai sedikitnya lebih dari 50 % jumlah penduduk Indonesia. Sehingga angka tersebut masih sangat rendah dibandingkan negara-negara maju ataupun negara berkembang yang sudah lama mengenal operator selullar.

Tumbuhnya kompetisi telekomunikasi di Indonesia
Pertumbuhan telekomunikasi di Indonesia juga sebenarnya tidak terlalu mulus, dimulai dari PN TELKOM sebagai perusahaan pertama telekomunikasi. kemudian tahun 1987 dirintis pembaharuan UU Telekomunikasi yang diundangkan dengan resmi sebagai UU No.3 Tahun 1989, setelah selama 25 tahun UU Telekomunikasi No.5 Tahun 1964 yang memberikan pegangan bagi perkembangan telekomunikasi Indonesia yaitu suatu UU yang memberikan monopoli mutlak kepada pemerintah untuk menyelenggarakan telekomunikasi. Menuju persaingan bebas dan kompetisi maka dikeluarkanlah UU No.36 Tahun 1999 yang membedakan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Penyelengara jaringan dapat menjadi penyelenggara jasa. Namun dalam PP diatur sehingga persaingan adil dan tidak terjadi silang subsidi. UU ini juga mengatur kewajiban dan kewenangan operator baru dan operator lama dalam interkoneksi jaringannya, sehingga pelanggan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal inilah yang membuat persaingan antara operator semakin terbuka. Tapi meskipun begitu masih saja banyak yang berpendapat bahwa PT.Telkom masih dianggap tetap melakukan praktek monopoli.
Dengan dikeluarkannya UU tersebut maka semakin menarik minat investor untuk berinvestasi mengembangkan bisnisnya ke pasar telekomunikasi. Sehingga semakin banyaknya operator telkomunikasi di Indonesia, maka sangatlah wajar terjadinya perang tarif yang sekarang menjadi sangat sengit. Apalagi semenjak diturunkannya tarif Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) oleh pemerintah per 1 April 2008. TELKOM merupakan pelaku pasar telekomunikasi yang memiliki jaringan paling luas atau menyelenggara telepon rumah atau PSTN. Sehingga apabila biaya sambungan interkoneksi ke PT.TELKOM bisa turun, maka tarif interkoneksi antar operator lainnyapun mengalami penurunan.

Investor berminat di bidang telekomunikasi
Dengan kondisi tersebut maka banyak investor yang sangat berminat untuk memberikan investasinya di bidang telekomunikasi. Itu terbukti dengan munculnya sebanyak 10 operator telekomunikasi. Mulai dari operator lama seperti PT.Telkom yang mana saham mayoritasnya dikuasai oleh pemerintah sebesar 51,2 % dan anak perusahaannya PT.Telkomsel yang 35% sahamnya pegang perusahaan asing asal Singapura yaitu SingTel. Kemudian PT.Indosat yang sahamnya baru-baru ini dibeli oleh Qatar Telekom. Dan Excelcomindo yang sahamnya dikuasai oleh Telekom Malaysia. Ada juga Mobile8 dimiliki oleh Hary Tanosoedibjo sekaligus pemilik Global Mediacom Group yang juga merupakan perusahaan media terbesar di Indonesia. Bakrie Telecom yang merupakan perwujudan dari Ratelindo yang dulu eksis di teknologi WLL. Belum lagi NTS yang merupakan gabungan antara PT.Natrindo yang dikuasai oleh Maxis Communication sebuah perusahaan asal Malaysia , HCPT yang sebelumnya bernama dari PT.Cyber Access dan yang terakhir adalah Smart Telecom dan Sampoerna Telecom yang dulunya sebagai perusahaan yang bergerak di industri rokok yang sahamnya dikuasai oleh Sampoerna Group.
Terbukti bahwa investasi telekomunikasi di Indonesia dikuasai oleh pihak asing yang notabennya adalah perusahaan telekomunikasi di negaranya masing-masing. Itu berarti ada titik jenuh untuk pasar telekomunikasi di pasar negaranya sehingga mereka mencari pasar lain diluar negaranya sendiri.


Negara Penetrasi
Telepon Tetap Selullar
Singapura 43% 98%
Malaysia 21% 81%
Thailand 11% 55%
China 27% 33%
Jepang 48% 70%
Korea Sel 46% 81%
Indonesia 7% 30%
India 2% 28%
Philipina 4% 44%
Pakista 20%
Vietnam 19%

Berdasarkan data tahun 2006 menunjukkan bahwa penetrasi pelanggan di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dari negara tetangga. Tapi setidaknya negara kita masih lebih tinggi penetrasi selullarnya ketimbang India. Negara yang memiliki banyak SDM berkualitas teknologi informasinya itu hanya memiliki penetrasi selullar sebesar 28%.
Negara maju seperti Amerika Serikat saja penetrasi selullarnya sudah mencapai 84%, bahkan negara yang dijuluki dengan negri Paman Sam itu diprediksikan penetrasinya akan mencapai 100% di tahun 2013. Begitu pula dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang penetrasi selullarnya sudah mencapai 98% dan 81%. Keduanya merupakan yang tertinggi di Negara Asia Tenggara. Maka sudah sewajarnya apabila perusahaan telekomunikasi dari kedua negara tetangga itu sudah merambah masuk ke negara lain termasuk negara kita yang memang penetrasinya masih rendah.
Dari data yang ditunjukkan bisa terungkap daya tarik asing untuk mengembangkan usaha pasar telekomunikasi selullar di Indonesia. Karena di negara ini untuk penetrasi fixed wired atau telepon tetap hanya 4 % dimiliki oleh PT.Telkom dengan jumlah pelanggan mencapi 8.7 Juta pelanggan berbayar. Artinya masih terdapat market 96% lagi yang belum dimanfaatkan untuk pelanggan telepon. Tapi tampaknya pihak asing kurang berminat dalam investasi telepon tetap, disamping harganya yang cukup mahal sehingga mempengaruhi nilai investasinya. Sehingga
Dibandingkan dengan pasar selullar yang masih dikuasai oleh PT.Telkomsel sebesar 56% pasar dan penetrasinya masih 28%. Artinya operator lainnya atau pihak asing melalui Indosat, Excecomindo, HCPT dan NTS masih sangat tertarik karena masih terdapat 72 % market lagi.

Penetrasi selullar yang cepat
Bila dibandingkan dengan pertumbuhan pelanggan telepon tetap kabel atau PSTN, maka pertumbuhan pelanggan telepon bergerak nirkabel mengalami perbedaan yang sangat signifikan. Bisa jadi pelanggan PSTN saat ini menjadi stuk atau jenuh diakibatkan biaya dari pemasangan sambungan telepon yang sangat mahal. Bandingkan dengan pemasangan telepon nirkabel yang sudah semakin mudah dan murah. Belum lagi bila dibandingkan dengan kebebasan bergerak para pelanggannya.
Sebenarnya setelah adanya kompetisi dan persaingan bebas di pasar telekomunikasi dan diizinkannya PT.Indosat untuk melakukan pengadaan jaringan telepon tetap, banyak juga para operator telekomunikasi yang ingin berinvestasi ditelepon tetap tersebut. Tapi bagi PT.Indosat saja masih mikir panjang untuk terlibat dalam pengadaan PSTN karena memang biaya investasi per-unitnya saja sangat mahal. Artinya, para pelanggan telepon permanen yang baru akan tetap memilih jaringan PSTN milik PT.Telkom selain harganya yang sama tapi interkoneksinya dengan pelanggan lain yang sudah banyak menjadi lebih mudah.

Pertumbuhan penetrasi pelanggan telepon selullar atau nirkabel lebih cepat daripada pertumbuhan penetrsai pelanggan telepon tetap. Sehingga para investor lebih memilih untuk menginvestasikan investasinya di telekomunikasi selullar. Terutama para investor asing yang sudah berpengalaman di bidang telekomunikasi, karena investasi mereka di negaranya sudah mengalami kejenuhan.

Jumlah pelanggan telekomunikasi di negara lain
Meskipun penetrasi pelanggan di Indonesia masih rendah, tapi apabila dihitung jumlah keseluruhannya menjadi sangat tinggi. Dari total pelanggan selullar sampai bulan Juni 2008 terhitung mencapai 135 juta pelanggan. Cina masih unggul dengan jumlah pelanggan 585 juta pelanggan, sedangkan India masih menempati peringkat dua dengan 291 juta pelanggan. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke enam jumlah pelanggan.
Berikut jumlah pelanggan di beberapa negara lain :

No Negara Jumlah Pelanggan
1 Cina 585 juta
2 India 291 juta
3 Amerika 259 juta
4 Rusia 172 juta
5 Brazil 144 juta
6 Indonesia 135 juta
7 Jepang 103 juta
8 Jerman 103 juta
9 Italia 90 juta
10 Pakistan 86 juta


Operator telekomunikasi
Dilihat dari jumlah pelanggan telekomunikasi selullar, negara Indonesia masih menduduki peringkat ke enam. Tapi apabila dihitung jumlah operator telekomunikasi nya maka Indonesia bisa dikatakan negara yang memiliki operator telekomunikasi terbanyak di dunia. PT.Telkom yang merupakan pemain lama bahkan memiliki anak perusahaan PT.Telkomsel dengan produknya simPATI, As dan kartoHALLO saja masih bisa mengeluarkan produk selullar meskipun pergerakannya masih terbatas untuk satu kota saja atau Fixed Wireless Access (FWA) yaitu Flexi. Sedangkan saingan lamanya yaitu PT.Indosat malah mempunyai produk selullar dan produk FWA yaitu Matrix, Mentari, IM3 dan Starone. Excelcomindo juga mempunyai produk dengan nama Explore, Bebas dan Jempol. Sedangkan Bakrie Telecom masih saja setia dengan produk FWAnya Esia. Mobile8 yang baru saja mengelurakan produk FWA nya yaitu Hepi dan juga produk lamanya Fren. Para pemain baru seperti HCPT yang mengeluarkan produk 3 “baca tri”dan NTS dengan Axisnya merupakan produk GSM. Sinarmas Telecom dengan SMARTnya dan Sampoerna Telecom dengan Ceria merupakan pemain baru dengan mengandalkan teknologi CDMA tapi di kanal frekuensi yang berbeda dengan para pemain CDMA lainnya. Sehingga sangat sulit untuk mengganti handset apabila satu pelanggan ingin pindah menggunakan layanan operator lainnya.
Jadi terdapat total sepuluh operator telekomunikasi yang ada di Indonesia. Dengan pembagian lisensi selullar sebanyak 8 operator dan 4 operator yang memiliki lisensi FWA atau telepon tetap tanpa kabel. Berarti ada dua operator yang memiliki lisensi mobile selullar dan FWA yaitu PT.Indosat dan PT.Mobile8.
Lisensi mobile selullar yang memiliki pergerakan tanpa batas sehingga semua pelanggannya bisa menggunakan hanset atau handponenya bisa aktif di semua wilayah di Indonesia, sehingga lisensi ini sangat cocok untuk pelanggan yang pergerakkannya jelajahnya dari satu kota ke kota lainnya. Sedangkan FWA merupakan lisensi dengan pergerakan yang terbatas, sehingga handset hanya bisa bergerak bebas disatu kode wilayah tertentu. Apabila pelanggan masuk ke daerah yang berbeda kode areanya maka handset atau nomor tersebut tidak dapat aktif. Itu berarti tinggal bagaimana pelanggan memilihnya.
Bila dipisah ada total 12 Operator yang memiliki lisensi untuk penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Dimana masing-masing operator tersebut memiliki produk-produk yang berbeda dalam artiannya mempunyai segmen yang berbeda-beda. Bila dijumlahkan berarti ada sekitar 17-an produk dari operator telekomunikasi tersebut.Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya para calon pelanggan telekomunikasi untuk memilih produk yang tepat. Masing-masing operator biasanya memiliki lebih dari satu produk untuk masing-masing segmen. Karena mereka menganggap bahwa masyarakat Indonesia masih terbagi-bagi dalam berbagai segmen tingkatan yaitu ekonomi, pendidikan, usia dan kebutuhan.

Jumlah operator telekomunikasi di negara lain
Lalu bagaimana kondisinya di negara lain. Untuk beberapa negara yang berpenduduk paling banyak didunia yaitu Cina saja cuma memiliki tiga operator telekomunikasi. Selanjutnya India yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1,3 Miliar penduduk hanya memiliki lima operator telekomunikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 225 juta memiliki sepuluh operator telekomunikasi. Padahal penetrasi pelanggan selullar di Indonesia masih rendah, yang berarti membuat para investor untuk menginvestasikan uangnya di bidang ini. Dan mungkin saja jumlah operator selullar telekomunikasi di Indonesia semakin bertambah.

No Negara Operator Jumlah Penduduk
1 Cina 3 1.3 miliar
2 India 5 1.080 miliar
3 Pakistan 5 154 juta
4 Philipina 4 86 juta
5 Korea Selatan 4 48 juta
6 Malaysia 3 25 juta
7 Singapura 3 4 juta
8 Hongkong 6 7 juta
9 Taiwan 3 23 juta

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa Malaysia dan Singapura saja hanya memiliki 3 operator selullar. Malahan operator di negara tersebut sudah memiliki saham bahkan menjadi saham mayoritas di beberapa perusahaan operator selullar telekomunikasi di Indonesia. Mungkin mereka merasa penetrasi di negaranya yang sudah sangat tingggi dan hampir mencapai titik jenuh. Oleh sebab itu mereka mencoba merambah bisnis telekomunikasinya ke negara tetangga yaitu Indonesia.
Meskipun memilki operator telekomunikasi terbanyak, operator di Indonesia masih dianggap sangat kecil apabila dibandingkan dan disandingkan dengan jumlah penduduk di negara Indonesia. Coba dilihat untuk negara Hongkong yang berpenduduk tujuh juta saja memiliki enam operator telekomunikasi di negaranya. Kemudian dengan negara maju seperti Singapura yang hanya berpenduduk sebanyak 4 juta saja memiliki 3 operator telekomunikasi. Begitupula dengan negara tetangga Malaysia yang berpenduduk 25 juta dan memiliki 3 operator telekomunikasi. Dengan berpenduduk sebanyak 225 juta orang maka bisa dibilang sudah ideal untuk ditangani sebanyak sepuluh operator telkomunikasi. Tapi apakah mampu para operator tersebut bertahan ditengah kondisi perang tarif sekarang ?

Menjaga tarif bawah dan tarif atas
Dengan begitu banyaknya produk yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi di Indonesia, maka persaingan baik antara operator maupun antara produk sudah semakin sengit. Bisa kita lihat bagaimana iklan-iklan yang ada di media sudah seperti terlihat perang tarif. Meskipun yang terjadi sebenarnya bukan perang tarif tapi hanya merupakan perang promosi. Baru hari ini satu produk mengeluarkan promosinya, maka janganlah heran produk yang sebanding langsung mengeluarkan promosinya yang lebih murah. Bahkan sampai ada tarif yang mencapai nilai rupiah dengan angka koma, mungkin jika menggunakan pecahan satu sen maka nilai rupiah tersebut masih dibawah satu sen rupiah.
Ada baiknya pemerintah sebagai penyelenggara regulasi telekomunikasi membuat batas tarif atas dan tarif bawah untuk mencegah terjadinya perbedaan tarif yang semakin jauh. Pada saat ini mungkin tarif yang diberlakukan hanya tarif promosi, sehingga para operator masih bisa mengutak – atik tarif untuk masa promosi tertentu. Tapi apa jadinya apabila tarif murah yang diberlakukan sekarang ini menjadi tarif dasar para operator. Mungkin operator besar yang sudah memiliki banyak pelanggan tidak terlalu masalah dengan penurunan tarif dasarnya. Tapi bagaimana dengan kekuatan para operator kecil yang pelanggannya masih dibawah sepuluh juta pelanggan? tentu saja ini akan semakin membuat perusahaan operator telekomunikasi mengikat pinggang yang kencang.
Akibat persaingan tarif yang seperti tadi maka akan membawa korban bagi operator karena pengaruhnya sangat besar bagi pendapatan perusahaan telekomunikasi. Masryarakat saat ini semakin menyeleksi dalam memilih operator telekomunikasi. Mereka langsung berpaling apabila produk yang mereka gunakan ternyata memberikan tarif yang mahal. Bisa jadi sebagai akibat karena persaingan ini, maka pendapatan perusahaan selullar semakin menurun. Beberapa diantara nya mungkin akan mengalami kesulitan. Bukan tidak mungkin adanya merger antara perusahaan operator yang satu dengan lainnya. Operator besar bisa mengakusisi atau antar operator kecil bisa melakukan merger. Seperti yang dilakukan perusahan-perusahaan perbankan pada tahun 1998 atau perusahaan-perusahanan media televisi yang baru-baru ini melakukan merger untuk meningkatkan pendapatan dan mengurasi pengeluaran.

Bersaing lebih ke arah kualitas dan konten.
Apabila persaingan di tarif sudah mulai jenuh, dalam artian sudah banyak pelanggan yang mulai setia dengan produk yang dikeluarkan operator telekomunikasi. Maka promosi tarif semurah apapun ataupun penurunan tarif dasar semurah apapun tidak akan mempengaruhi pelanggan lama yang ingin berpindah ke operator lain.
Dengan begitu kondisi antara tarif yang hampir sama maka sangat memungkinkan bagi para pelanggan untuk lebih memilih operator telekomunikasi yang bagus dan handal di kualitas. Sehingga pelanggan tidak ragu lagi menggunakan produk yang dikeluarkan operator tersebut, meskipun harga atau tarif yang ditawarkan lebih mahal dari operator lain. Mungkin kah itu terjadi ? bisa saja. Mengingat baru –baru ini ketika biaya interkoneksi ke PT.Telkom menurun dan mempengaruhi tarif dasar telekomunikasi selullar lainnya maka terjadi peningkatan trafik yang berakibat pada penurunan kualitas jaringan itu sendiri seperti call drop, sulit menelpon dan lain-lain.
Berbagai tarif promo yang dikeluarkan mungkin efektif dalam menjaring pelanggan baru. Sepintas memang program tersebut menguntungkan pelanggan. Tapi jangan lupa bahwa dengan banyaknya pelanggan dan tidak diikuti oleh penambahan jaringan maka mengakibatkan kualitas jaringan menjadi lebih buruk. Bukan tidak mungkin semakin lama banyak para pelanggan yang mengeluhkan masalah kualitas jaringan yang semakin memburuk, seperti survey yang dilakukan di negara Amerika Serikat bahwa pelanggan telekomunikasi di sana lebih mengutamakan kualitas suara.
Selain kualitas jaringan, ada faktor lain yang mempengaruhi jumlah pelanggan. Konten yang diberikan bisa menjadikan ujung tombak untuk menarik pelanggan. Layaknya media, dimana konten bisa mempengaruhi minat dan pola pikir dari pelanggannya. Tentu konten-konten tersebut bisa dibuat berdasarkan segmen-segmen pelanggan tertentu.


Tanda tumbangnya Operator Selullar
Lalu bagaimana dengan nasib para operator telekomunikasi yang memiliki pelanggan dibawah sepuluh juta apabila persaingan tarif dasar benar-benar terjadi? Ada kemungkinan beberapa operator telekomunikasi seluller akan goyang akibat persaingan tarif. Setidaknya sudah ada sinyal dari pemilik operator yang sedikit ragu dalam menjalankan bisnisnya dibidang telekomunikasi.
Seperti bulan lalu banyak media yang mengangkat isu tentang ide dari para petinggi PT. Global Mediacom, Hary Tanosodibjo untuk menjual bisnis diluar bisnis media yang sekarang digelutinya yaitu PT.Mobile-8. Bahkan Hary mengatakan akan menjual 15,58 persen saham Mobile-8 ke pihak lain sehingga kepemilikkan Global di Mobile-8 tinggal 51 persen. Meskipun tidak tegas disebutkan siapa yang membelinya, namun isu yang berkembang adalah menjual sahamnya ke PT.Bakrie Telecom.
Bakrie Telecom dan Mobile-8 memiliki teknologi jaringan yang sama. Tapi dari sisi lisensi yang dimiliki Mobile-8 lebih unggul karena memiliki lisensi mobile selullar dan FWA, berbeda dari Bakrie Telecom yang hanya memiliki lisensi FWA. Hanya saja jumlah pelanggan yang dimiliki oleh Bakrie Telecom lebih banyak dan kondisi perusahaan lebih sehat daripada Mobile-8. Bisa saja pengambilalihan secara bertahap Mobile-8 oleh Bakrie Telecom atau mungkin merger keduanya akan memperkuat posisi Bakrie Telecom di industri telekomunikasi dari posisi lima menjadi keempat.

Tiga operator mobile selullar dan dua operator FWA
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, saat ini untuk telekomunikasi selullar masih dikuasai oleh tiga operator GSM yang besar yaitu PT.Telkomsel dengna 58 juta pelanggan, PT. Indosat dengan 32 juta pelanggan dan PT.Excelcomindo Pratama dengan 24 juta pelanggan. Dimana ketiga operator tersebut menguasai 84 persen pangsa pasar telekomunikasi nirkabel dengan 135 juta pelanggan yang berhasil digaet.
Lalu untuk 16 persen sisanya masih diperebutkan oleh 7 operator. yaitu PT.Telkom dengan Flexinya, Bakrie Telekom (Esia), Mobile-8 (Fren dan Hepi), HCPT (3), Sampoerna (Ceria), Natrindo (Axis), dan Sinarmas (Smart) .

No Operator Jumlah Pelanggan Teknologi Lisensi
1 PT.Telkomsel 58 juta GSM Mobile Selullar
2 PT.Indosat 32 juta GSM/CDMA Mobile & FWA
3 PT.Excelcomindo 24 juta GSM Mobile Selullar
4 PT.Telkom 9 juta CDMA FWA
5 PT.Bakrie Telecom 6 juta CDMA FWA
6 PT.Mobile-8 4 juta CDMA Mobile & FWA
7 PT.HCPT 2.3 juta GSM Mobile Selullar
8 PT.Sinarmas Telecom 1 juta CDMA Mobile Selullar
9 PT.Sampoerna Telecom 400 ribu CDMA Mobile Selullar
10 PT.NTS 600 ribu GSM Mobile Selullar


Table 4. Jumlah pelanggan operator selullar

Berdasarkan peringkat dengan jumlah pelanggan terbanyak, maka bisa dipastikan bahwa untuk lisensi mobile selullar masih dikuasai oleh PT.Telkomsel , PT.Indosat dan PT.Excelcomindo. Sedangkan untuk lisensi FWA masih di kuasai oleh PT.Telkom dan PT.Bakrie Telecom. Untuk lisensi mobile selullar yang dikuasai oleh tiga operator mungkin sudah tidak dapat diganggu gugat oleh opearator lain. Dalam artian untuk operator lain yang memiliki lisensi mobile selullar masih sangat jauh jumlah pelanggannya dibandingkan tiga operator penguasa tersebut.
Sedangkan untuk FWA yang dikuasai oleh teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) saat ini lisensinya dimiliki oleh empat operator. Keunggulan dari CDMA adalah lebih punya masa depan dari sisi capital expenditure (capex) dan operation expenditure (opex) yang jauh lebih murah dibandingkan dengan operator GSM. Itulah alasan yang kuat bagi PT.Telkom untuk lebih berinvestasi di FWA dari pada meningkatkan investasinya di telepon tetap melalui kabel. Selain memiliki jaringan yang paling luas dan dengan citra atau image sebagai perusahaan BUMN yang sudah sangat besar, maka sangatlah wajar apabila Flexi sebagai produk dari PT.Telkom mampu menggaet pelanggan terbanyak di lisensi FWA.
Sedangkan Bakrie Telecom yang memiliki keunggulan dari penggunaan teknologi CDMA dan memiliki performansi keuangan yang sangat baik ditambah marketing yang kuat membuat para investor malah ingin mengakusisinya, setidaknya ada dua perusahaan yaitu PT.Altimo dari Rusia yang ingin berinvestasi di Indonesia, kemudian ada PT.Telkom sendiri yang ingin menyingkirkan saingannya agar produk Flexinya tetap eksis.
Sehingga bisa jadi, apabila tarif dasar mengalami penurunan selamanya. Bukan tidak mungkin beberapa operator kecil harus mengakusisi ke operator besar ataupun operator kecil saling merger. Dan jumlah operator yang ada sekarang semakin berkurang menjadi sekitar lima atau enam saja. Dengan komposisi tiga perusahaan berlisensi mobile selullar dan dua perusahaan berlisensi FWA. Saya kita dengan komposisi tersebut sudah cukup bagi masyarakat untuk memilih operator mana yang sesuai dengan keinginnannya. 


http://provbig.blogspot.com/2008/10/indonesia-negara-dengan-operator.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar